Dirut PT CMI Teknologi Didakwa Rugikan Negara Rp 63,8 Miliar Terkait Kasus Bakamla
Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi mendakwa Rahardjo Pratjihno, Direktur Uama PT Compact Microwave Indonesia Teknologi, merugikan keuangan negara Rp 63,8 Miliar. Rahardjo memperkaya diri sendiri sebanyak 60,3 Miliar dan memperkaya Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi, Direktur Utama PT Viva Kreasi Investindo yang juga mantan Politisi PDI Perjuangan, sebesar Rp 3,5 Miliar. Upaya memperkaya diri itu terkait pengadaan Backbone Coastal Surveillance System yang terintegrasi dengan Bakamla Integrated Information System.
"Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yaitu memperkaya terdakwa selaku pemilik PT CMI Teknologi Rp 60,3 Miliar dan memperkaya Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, yaitu merugikan keuangan negara sebesar Rp 6,3 Miliar," bunyi surat dakwaan JPU KPK yang dibacakan dalam sidang pembacaan dakwaan, Senin (8/6/2020). Angka kerugian negara itu didapat dari Laporan Hasil Audit dalam rangka Penghitungan Kerugian Keuangan Negara atas Kasus Dugaan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Backbone Coastal Surveillance System(BCSS) yang Terintegrasi dengan Bakamla Integrated Information System (BIIS) pada Badan Keamanan Laut (Bakamla) Republik Indonesia Tahun Anggaran 2016. Laporan Hasil Audit dibuat oleh Tim Auditor Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), sesuai dengan Surat Pengantar dari Deputi Kepala BPKP Bidang Investigasi Nomor SR 804/D5/02/2019 Tanggal 16 Desember 2019.
Rahardjo didakwa melakukan tindak pidana bersama sama dengan bersama sama dengan Bambang Udoyo,selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla RI). Leni Marlena, selaku Ketua Unit Layanan Pengadaan (ULP) Bakamla RI dan Juli Amar Ma'ruf selaku Anggota (koordinator) ULP Bakamla RI, pada bulan Maret 2016 sampai Desember 2016. Kasus itu berawal ketika Ali Fahmi mengajak Rahardjo berkenalan dengan pejabat di Bakamla pada Maret 2016.
Dari pertemuan itu, pembahasan mengenai rencana pengadaan BCSS di Bakamla dimulai. BCSS merupakan proyek pengembangan sistem informasi di Bakamla memperkuat pengawasan laut. Semula, Bakamla mengusulkan penambahan anggaran sebesar Rp 315 miliar untuk pengadaan proyek ini ke Rencana Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2016. Supaya usulan itu bisa disetujui, Ali Fahmi bertugas melakukan koordinasi dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Keuangan dan Komisi Pertahanan DPR.
Setelah pembahasan dengan Komisi Pertahanan DPR, nilai pagu anggaran untuk proyek ini naik menjadi Rp 400 miliar. Dalam proses koordinasi itu, Ali Fahmi sempat bertemu dengan Rahardjo untuk membahas uang komitmen atau commitment fee. Namun, pada Oktober 2016, Kemenkeu hanya menyetujui bahwa anggaran untuk proyek ini hanya sebesar Rp 170 miliar. Kendati tak sesuai dengan proposal proyek, jaksa menyebut Bakamla tetap melanjutkan proyek ini. Menurut jaksa, proses lelang telah direkayasa hingga PT CMI ditunjuk menjadi pelaksana proyek pengadaan BCSS. Dalam proses pengadaan, kata jaksa, PT CMI telah melanggar sejumlah kesepakatan, di antaranya menyerahkan pekerjaan utama kepada subkontraktor; dan lama pekerjaan tidak sesuai dengan kesepakatan.
Selain itu, kata jaksa, Bakamla membayar sebanyak Rp 134 miliar kepada PT CMI dalam pengadaan BCSS. Akan tetapi, PT CMI hanya mengeluarkan biaya sebanyak Rp 70 miliar dalam pengerjaan proyek tersebut. Selisih antara pembayaran dan biaya pengerjaan ditaksir lebih dari Rp 63,8 miliar. Menurut jaksa dari selisih itu, Rahardjo selaku pemilik PT CMI telah diperkaya sebanyak Rp 60,3 miliar. Sementara sebagian uang keuntungan itu diserahkan kepada Ali Fahmi sebanyak Rp 3,5 miliar pada Oktober 2016.